17 Jan 2011

Tubuh Perempuan, Ajang Perang Ideologi.Agus Haris Purnama Alam

Tubuh Perempuan, Ajang Perang Ideologi


Harian berbahasa Inggris the Jakarta Post dalam kolom opininya mengulas hubungan antara jilbab, perempuan dan ideologi. Tubuh perempuan menjadi ajang perang ideologi, baik itu ideologi agama maupun sekularisme.


Di Prancis, akhir-akhir ini terjadi perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan memakai jilbab. Dengan alasan pemisahan antara negara dan agama, wanita muslim dilarang mengenakan jilbab ditempat-tempat umum seperti sekolah atau instansi pemerintah.


Apa yang terjadi di Prancis saat ini pernah terjadi di Indonesia pada tahun ‘80an. Pada saat itu pemerintah juga melarang pemakaian jilbab di sekolah dan instansi pemerintah. Situasi itu mempersulit posisi wanita berjilbab untuk mencari kerja.


Sekarang situasi di Indonesia sudah sangat berubah. Semakin banyak perempuan memakai jilbab. Namun, di beberapa wilayah yang menerapkan Perda Syariah jilbab dipaksakan.


Sama saja


Situasi di Prancis dan Indonesia itu menunjukkan satu hal yang sama: kekuasaan patriarkis terhadap perempuan. Tubuh perempuan, apa yang mereka pakai, menjadi ajang perang ideologi.


Mereka yang melarang jilbab atas nama sekularisme maupun yang memaksakan jilbab karena agama sama saja. Kedua-duanya adalah bentuk kesewenang-wenangan terhadap perempuan.


“Dalam berbagai debat tentang pelarangan maupun pewajiban jilbab, suara perempuan jarang didengar. Kepentingan perempuan tidak digubris. Demikian the Jakarta Post dan sekian pula ulasan pers kali ini.” Demikian dalam siaran Radio Nederland.


Jilbab juga Bikin Ribut di Amerika Latin


Untuk pertama kalinya di Amerika Latin muncul kontroversi soal jilbab. Yang memicu pro-kontra ini adalah seorang gadis kecil berusia 9 tahun. Dan Menteri Pendidikan Cile berpihak padanya.Banyak perempuan bercadar di kota-kota Amerika Latin. Biasanya mereka adalah para biarawati Katolik Roma. Banyak juga muslim di Amerika Latin. Diperkirakan - karena tak ada angka jelas - jumlahnya sekitar 6 juta orang. Sekitar satu setengah juta tinggal di Brasilia, 700.000 di Argentina, dan tak sampai 3.000 di Cile. Banyak di antara mereka yang mualaf.
Di Cile Yasmín Elsayed, gadis kecil 9 tahun, menimbulkan kontroversi. Ia tiba-tiba muncul dengan jilbab di sekolahnya, di Santiago de Chile. Keputusan menggunakan jilbab disambut buruk: sekolah berniat mengeluarkannya. Alasannya: jilbab bukan bagian dari seragam sekolah.


Orangtua Yasmín kemudian melibatkan Pusat Budaya Islam (Centro de Cultura Islámica, CCI). Fuad Musa, ketua CCI, menjelaskan arti jilbab bagi muslimah muda kepada sekolah Yasmín.


Fuad Musa: “Memakai jilbab tidak sama dengan piercing, gaya rambut, atau cincin hidung. Busana religius seorang muslimah punya makna lebih dalam. Dengan berbusana muslim, muslimah meneladani Bunda Maria, ibu Nabi Isa, dan Fatimah, putri Nabi Muhammad.”


Dengan penjelasan ini, sekolah akhirnya menghormati keputusan Yasmín. Yang tak kalah berperan adalah Menteri Pendidikan Joaquín Lavín. Ia mendukung Yasmín dan orangtuanya. Ia menyatakan, Undang-undang Cile tidak mengizinkan diskriminasi.


Joaquín Lavín: “Kita harus menghormati multikulturalisme dan keragaman Cile. Undang-undang pendidikan melindungi hak Yasmín mengenakan jilbab dikombinasikan dengan seragam sekolah.”


Menurut Fuad Musa, Yasmín adalah “seorang gadis luar biasa dan sangat religius” - keputusan mengenakan jilbab datang dari keinginannya sendiri. Orangtuanya malah tak tahu apa-apa soal itu. Yasmín justru ingin mengejutkan orangtuanya dengan keputusan memakai jilbab.


Menurut ayah Yasmín, Hussein Elsayed, di Cile sudah dua kali hal serupa terjadi:


“Seorang muslimah dari sekolah lain dikeluarkan atas alasan yang sama. Masalah selesai karena akhirnya ia pindah ke sekolah lain yang mengizinkan jilbab. Ada juga kasus lain: seorang muslimah dipecat dari perusahaan telekomunikasi karena mengenakan jilbab. Ia menuntut perusahaan itu dan akhirnya menerima ganti rugi sangat besar.”


Sosiolog Cile Isaac Caro berpendapat, cuma masalah waktu sebelum Islam jadi buah bibir di Amerika Latin seperti di Eropa. Demikian tulisnya di koran internet El Mostrador. Caro meramalkan, nantinya diskusi mengenai jilbab dan burka di Amerika Latin akan menjadi hal biasa - seperti yang sedang terjadi di Eropa sekarang (Radio Nederland).


Sejak kontroversi pemerintah Perancisyang melarang penutup wajah (cadar, burka atau niqab), isu jilbab sekali lagi menarik perhatian dunia. Memang, hanya sedikit perempuan Muslim menutupi wajah mereka sepenuhnya. Banyak negara Arab yang maysitar berpenduduk Muslim, tidak mewajibkan penggunaan jilbab bagi kaum perempuan.


Tantawi al Sayed, seorang imam Al-Azhar di Kairo, berani menyatakan bahwa penutup wajah total (cadar, niqab, atau burka) tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itum tidak mengherankan bahwa Departemen Pendidikan di Suriah, sebuah negara mayoritas Muslim, juga telah mengeluarkan larangan niqab di semua universitas negeri dan swasta (readersforum the Jakarta Post).


Isu tubuh perempuan selalu saja menyedot perhatian banyak pihak; sejarawan, filsuf, teolog maupun para pemikir lainnya dengan berbagai dalih. Bagaimana pendapat perempuan itu sendiri?



** Penulis aktif di Dumala Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar