18 Jan 2011

Indonesia Benteng Terakhir Industri Rokok

Indonesia Benteng Terakhir Industri Rokok



Beberapa hari yang lalu Kompas memuat berita dengan judul di atas. Saya meminjam judul tersebut untuk menjelaskan lebih lanjut cerita di balik judul tersebut. Di dunia ini ada lima negara dengan penduduk terbanyak, yaitu China, India, Amerika Serikat, Indonesia, dan Rusia. Jepang dan Bangladesh juga mempunyai penduduk di atas seratus juta orang. Di antara kelima negara berpenduduk besar itu India, China dan Indonesia mempunyai prosentase perokok terbesar di dunia. Lebih dari 30 persen penduduk ketiga negara tersebut telah kecanduan rokok. Kemudian Rusia dan Jepang.


Kini ketika pengetahuan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan masyarakat makin meningkat, terutama bahaya bagi perokok pasif, yaitu bukan perokok tetapi menghisap asap rokok orang lain, negara-negara itu mulai mengatur perdagangan rokok di dalam negerinya. Antara lain dengan melarang orang merokok di tempat umum, melarang pedagang rokok menjual rokok kepada anak di bawah umur 18 tahun, melarang iklan rokok, bahkan Amerika juga melarang rokok dicampuri bahan-bahan kimia lain termasuk cengkeh. Peraturan-peraturan yang membuat gerah industri rokok karena mengalami hambatan dalam merekrut perokok baru, terutama dari kalangan remaja dan anak-anak.


Di antara lima negara berpenduduk terbesar tadi, semua sudah memperketat perdagangan rokok kecuali Indonesia. Bahkan di antara 192 anggota WHO, sebanyak 172 negara sudah menanda tangani FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Yang sisanya, termasuk Indonesia, tidak menandatangani. Organisasi negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga sudah sepakat memperketat perdagangan rokok dengan kerangka FCTC untuk menjaga kesehatan rakyatnya. Kesepakatan negara-negara Islam tersebut ditandatangani di pertemuan puncak (Summit Meeting) di Kuala Lumpur tahun 2007. Kali ini Indonesia ikut menandatangani kesepakatan itu. Anehnya, dari seluruh negara anggota OKI tersebut hanya Indonesia yang tidak melaksanakan atau bahkan mengingkari kesepakatan itu.


Dari cerita di atas jelas bahwa Indonesia akan dijadikan benteng terakhir bagi industri rokok untuk menjadi satu-satunya negara di mana industri rokok dapat secara bebas mengundang remaja dan anak-anak untuk mengonsumsi rokok. Mereka mengakui bahwa masalah kesehatan penting untuk diperhatikan, tetapi nanti saja setelah tahun 2015. Dengan lobi yang sangat kuat, dengan kekuatan uangnya, mereka berhasil membujuk pemerintah untuk mengikuti hal itu.


Bagi pemerintah SBY seolah-olah telah terjadi “transaksi” bahwa biarlah masalah kesehatan akibat rokok menjadi urusan pemerintah sesudah dia. Bagi perusahaan rokok itu berarti mereka harus bersiap-siap untuk melakukan lobi baru dengan calon presiden yang baru. Pemerintah sekarang ini tidak mau menghitung berapa kerugian dalam aspek kesehatan yang terus terjadi sampai tahun 2015. Toh pengeluaran untjuk kesehatan sebagian besar ditanggung oleh rakyat sendiri. Bukan oleh uang pemerintah. Mereka tidak pula memikirkan kerugian produktivitas rakyat yang terganggu kesehatannya akibat rokok.


Bagi industri rokok, Indonesia merupakan benteng terakhir di mana mereka dapat dengan mudah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, yang harus dengan segala cara (at all cost) harus dipertahankan. Industri rokok besar sedunia akan mendukung upaya agar Indonesia tetap tidak meratifikasi FCTC, tidak mengeluarkan aturan (legislasi) yang membatasi rokok. Kalau perlu dengan menggunakan cara memutarbalikkan fakta. Antara lain dengan menggunakan petani tembakau dan buruh rokok sebagai tameng, meskipun mereka tahu bahwa sebagian besar petani tembakau tidak bertambah sejahtera sementara pemilik industri rokok semakin kaya. Pemerintah yang mempunyai data diam saja menghadapi klaim yang terdistorsi ini dan tidak pula membela petani tembakau dari penindasan industri rokok.


Negara dengan jumlah penduduk besar dan jumlah perokok juga terbesar, dan dengan pemerintah yang lemah ini merupakan sorga yang harus secara mati-matian dipertahankan oleh indutri rokok internasional. Bukan hanya elit politik di eksekutif yang mereka pengaruhi tetapi juga yang duduk di parlemen yang mewakili partai-partai mereka. Anehnya, mereka menggunakan tuduhan “ada kepentingan asing” di balik gerakan untuk mengendalikan konsumsi rokok ini. Tidak jelas asing yang mana, sebab Sampoerna dan Bentoel juga sudah menjadi milik asing. Kalau yang dimaksud “asing” itu adalah kepentingan Amerika Serikat, menjadi pertanyaan mengapa Amerika Serikat sendiri mengatur secara ketat perdagangan rokok di dalam negerinya.


Juga menjadi pertanyaan bagaimana Rusia, China dan Iran juga tunduk pada kepentingan Amerika Serikat dalam hal ini. Sesuai kesepakatan antara industri rokok dengan pemerintah Indonesia (SBY), mereka menolak pengaturan perdagangan rokok untuk menjaga kesehatan rakyat ini, setidaknya sampai tahun 2015. Beban ekonomi yang berkaitan memburuknya kesehatan rakyat akibat rokok biarlah menjadi urusan pemerintah yang akan datang.


Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar